13 Disember 2012

Hadis al-Arba’ûn an-Nawawiyah ke-34: Mencegah Kemungkaran

Setiap Kita Ada Peranan Untuk Mencegah Kemungkaran
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

Siapa saja yang menyaksikan kemunkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, hendaklah dengan hatinya dan yang demikian itu selemah-lemahnya iman. (HR. Muslim dan Ahmad)

Hadis ini berbicara tentang hukum mengubah kemungkaran oleh individu secara individual. Hadis ini menyatakan, setiap individu muslim ketika menyaksikan kemungkaran dilakukan atau terjadi di hadapannya, ia wajib mengubahnya dengan salah satu dari ketiga cara yang disebutkan di dalam hadis tersebut sesuai dengan kemampuan dan keharusannya. Itu berlaku untuk orang yang menyaksikannya. Adapun orang yang tidak menyaksikan, meski ia mengetahui kemungkaran itu terjadi misalnya dari berita, diberitahu orang lain, dsb, maka sesuai dengan mafhum syarat, orang itu tidak tercakup dalam seruan hadis ini.

Individu muslim siapa saja yang menyaksikan kemungkaran seperti orang meminum khamr, mencuri, akan membunuh orang atau berzina; jika individu itu minimal menduga kuat dirinya mampu menghilangkan kemungkaran dengan tangannya, ia wajib segera merubah dan menghilangkan kemungkaran itu dengan tangannya. Sehingga ia menghalangi orang itu dari minum khamr, mencuri, membunuh atau berzina. Ia menghalangi semua itu dan menghilangkannya dengan tangannya, sebab dia mampu merubahnya dengan tangan. Hal itu sebagai implementasi dari sabda Rasul saw di atas.

Penggunaan tangan yakni kekuatan fisik untuk merubah kemungkaran itu sesuai dengan kemampuan riil, meski itu hanya berdasarkan dugaan kuat (ghalabah azh-zhan). Jika kemampuan itu tidak ada maka tidak digunakan tangan. Sebab penggunaan tangan (kekuatan) pada kondisi itu tidak bisa merealisasi tujuan penggunaan tangan itu, yaitu taghyîr dan izâlah al-munkar. Fakta (manath) penggunaan tangan yang dinyatakan di dalam hadis di atas bergantung pada kemampuan riil untuk merubah kemungkaran itu. Dalilnya adalah hadis itu menjadikan perpindahan dari merubah kemungkaran dengan tangan ke merubah dengan lisan ketika tidak ada kemampuan untuk merubah dengan tangan.

Mengubah kemungkaran dengan lisan tidak bisa dianggap mengubah kemungkaran itu sendiri secara langsung, melainkan mengubah pelaku kemungkaran, yaitu mengingkari dan melarang kemungkaran yang dia lakukan dan menasehatinya supaya berhenti. Jika ia menerima dan berhenti maka kemungkaran itu pun hilang. Jika tidak mampu mengingkari dengan lisannya maka ia wajib membenci kemungkaran itu dengan hatinya dan tidak rela terhadapnya, dan disertai sikap meninggalkan tempat itu, tidak terus duduk dalam majelis itu dan tidak terus menyertai pelaku kemungkaran itu selama ia tetap melakukan kemungkaran itu.

Dengan mendalami hadis tersebut dan nas-nas lain dalam masalah ini, nampak bahwa zhahir hadis di atas tidak berlaku secara mutlak. Implementasi dan pemilihan cara taghyîr al-munkar dalam hadis itu dilakukan dengan mempertimbangkan ghalabah azh-zhan (dugaan kuat) akan keharusan penggunaannya. Para ulama menjelaskan hukum, rambu-rambu dan kaedah-kaedah dalam hal itu secara rinci.

Terdapat hadis-hadis yang menunjukkan, pemilihan dan penggunaan salah satu cara taghyîr al-munkar itu tergantung kepada fakta kemunkaran, kondisi yang melingkupi dan ghalabah azh-zhann orang yang akan mengubahnya akan keharusan, kemampuan dan efektifitasnya.

Imam Muslim mengeluarkan hadis dari Anas bin Malik bahwa pernah seorang arab badui kencing di dalam masjid. Saat para sahabat hendak menghalanginya dengan tangan dan lisan, Rasul bersabda “jangan hentikan dan biarkan dia”, atau dalam riwayat Bukhari dari Abu Hurairah “biarkan saja dan siramlah dengan seember air!” Nabi saw dan para sahabat jelas mampu menghalanginya dengan tangan dan lisan, namun bukan cara itu yang dipilih. Setelah selesai, baru Rasul menjelaskan kesalahan orang itu dan memahamkan yang benar. Hal itu karena beliau mengetahui, orang itu melakukannya karena ketidaktahuan. Saat ini ditengah kaum muslim banyak orang semisal orang Badui itu.

Imam Muslim juga mengeluarkan hadis dari Anas bin Malik bahwa Rasul saw pernah mencabut dan mencampakkan cincin emas dari tangan seorang sahabat. Beliau tidak lebih dahulu menegur atau memberitahu orang itu. Sebaliknya Beliau langsung merubah dengan tangan.

Imam Muslim, Abu Dawud dan Abu Ya’la mengeluarkan hadis dari Anas bahwa ketika Rasul melihat menara sebuah rumah yang menjulang, Rasul menampakkan kegeraman dan kemarahan. Ketika pemiliknya mengetahui kegeraman dan kemarahan Rasul atas menaranya itu, ia pun meratakannya dengan tanah. Rasul tidak mengubahnya dengan tangan atau menegur pemiliknya, padahal Beliau jelas mampu melakukannya. Tetapi Beliau hanya mengisyaratkan kegeraman dan kemarahan, dan hal itu sudah cukup untuk mengubahnya.

Kemunkaran oleh individu saat ini ada dua jenis. Pertama, kemunkaran yang juga dilarang oleh sistem yang ada, misal mencuri, merampas, merampok, membunuh, memperkosa, dsb. Jika muslim yang menyaksikannya ghalabah azh-zhan mampu mengubahnya dengan tangan, ia harus melakukannya. Kedua, kemunkaran yang dibolehkan oleh sistem, misal adanya bank ribawi, lokalisasi pelacuran, adanya bar, night club dan diskotek, wanita keluar tanpa menutup aurat dan tidak berjilbab, dsb. Meski berasal dari individu atau kelomok, hakikatnya itu adalah kemunkaran yang berasal dari sistem, sebab dilakukan karena hukum, UU, sistem dan penguasa membolehkannya. Taghyîr kemungkaran jenis kedua ini secara tuntas tidak bisa direalisir dengan misalnya menghancurkan gedung bank, lokalisasi, bar dan diskotek, atau menghalangi wanita tersebet itu keluar rumah. Tetapi taghyîr-nya secara tuntas hanya dengan mengubah sistem yang ada dan menggantinya dengan syariah dalam bingkai Khilafah Islamiyah.

Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

Tiada ulasan:

Catat Ulasan